Jakarta, Laki P 45 Maros – Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) mengeluarkan keputusan yang mengejutkan, mereka menjatuhkan sanksi pemberhentian dari jabatannya sebagai ketua MK kepada Ketua MK, Anwar Usman. Keputusan ini diambil setelah adanya temuan mengenai laporan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim terkait putusan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden minimal 40 tahun atau memiliki pengalaman menjadi kepala daerah.
Isu ini mencuat setelah Anwar Usman dan delapan hakim MK lainnya dituduh melanggar kode etik dan pedoman perilaku hakim dalam pengambilan putusan tersebut. Akibat laporan ini, MKMK melakukan penyelidikan mendalam dengan memeriksa 21 pelapor, 1 ahli, 1 saksi, serta 9 hakim MK yang terlibat. Dari jumlah tersebut, Anwar Usman menjadi sorotan utama dalam 11 laporan.
Setelah melakukan penyelidikan, MKMK menemukan banyak masalah dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Almas Tsaqibbirru. Proses tersebut menimbulkan banyak perselisihan dan perdebatan mengenai putusan yang diambil oleh Anwar Usman dan kawan-kawan.
Kontroversi bermula ketika Anwar Usman dan hakim lainnya menangani perkara tersebut yang nampaknya dimanfaatkan untuk memuluskan jalan Gibran Raka Bumi Raka menjadi calon wakil presiden. Pasalnya, Gibran baru berusia 36 tahun, tetapi telah memiliki pengalaman sebagai Walikota Solo.
Keputusan ini diumumkan oleh Ketua MKMK Jimly Asshiddiqie yang didampingi oleh dua anggotanya, Wahiduddin Adams dan Binsar R Saragih, di ruang sidang MKMK, Gedung MK, Jakarta Pusat pada Selasa, 7 November 2023.
Jimly menyatakan bahwa Anwar Usman, yang merupakan paman dari Gibran, terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, yaitu prinsip ketidakberpihakan dan integritas, serta tidak mengundurkan diri dari proses pemeriksaan dan pengambilan putusan nomor 90/PUU-XXI/2023. Hal ini menunjukkan bahwa Anwar Usman telah dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan keputusan tersebut.
Namun, perlu dicatat bahwa MKMK tidak memiliki kewenangan untuk mengadili putusan itu sendiri. Sehingga, meski Anwar Usman terbukti melanggar Sapta Karsa Hutama, putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut tetap dinyatakan sah dan berlaku.
Kasus ini menunjukkan betapa pentingnya integritas dalam proses pengambilan keputusan pada lembaga pengadilan seperti Mahkamah Konstitusi. Pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim seperti yang dilakukan oleh Anwar Usman perlu dijadikan contoh agar tidak terulang kembali dalam lembaga pengadilan dan penciptaan regulasi di masa mendatang.